Al habib Abdullah bin Muhsin Al atthos :
"Sesungguhnya tidak tampaknya khususiyah ahlu bait Rasulullah saw beserta kesempurnaan mereka dihadapan manusia seluruhnya adalah rahmat, karena andaikata khususiyah dan kesempurnaan ini ditampakkan, maka wajib (artinya pasti) bagi siapapun yg mengetahuinya untuk menghormati dan mengagungkan keistimewaan dan kesempurnaan mereka dengan pengagungan yg pantas atas mereka. Dan pengagungan ini adalah hal yang membuat manusia terhebat sekalipun tidak mampu menanggung bebannya. Maka apa yang tampak dari sifat basyariyah ahlu bait adalah hijab atas khususiyah mereka. MAHABBAH adalah cara awal dalam membuka lapis lapis hijab yg amat rapat ini. Dan dgn mencintai mereka, kian tampak cayaha yg akan menerangi kita dan akan menuntun kita kepada kebenaran yg nyata. Sedangkan kebencian terhadap mereka akan menampakkan kebalikannya".
(Bahjatut Tholibin. Hb Zain bin Ibrahim bin Sumaith. Hal. 30).
Di tengah masyarakat masih banyak yang belum faham mengapa sampai ada kaum atau golongan yang disandangkan predikat khusus dengan panggilan Habib, Sayyid, Syed, Syarif dll, begitupun dengan kebiasaan-kebiasaan mereka semisal dalam memilihkan jodoh buat anak perempuannya (syarifah) dengan seorang sayyid. Mungkin karena ketidaktahuan, ada juga yang bernada melecehkan, dengan mengatakan bahwa Panggilan Habib atau Sayyid adalah Panggilan Kesombongan, mengapa Nasab mereka perlu dijaga, Nasab atau silsilah dan Kafaah Syarifah hanya bentuk Diskriminasi Sosial. Inilah pandangan yang keliru yang perlu diluruskan. Semoga tulisan ini minimal sedikit menjawab itu semua.
Makna Panggilan dan Kefamilian Marga/Fam/Bangsa Dzurriaturrasul
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
“(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka…”Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah:
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
“Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun”
‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad saw’
Sepanjang sejarah bersamaan Kemulian Dzatiyah yg disandangnya, mereka tidak pernah luput dari fitnah, cemohan, ejekan, celaan, dll dari orang-orang yg tidak menyukainya. Mereka yg benci bahkan tidak segan-segan memutar balikkan sejarah, dan lebih gila lagi banyak hadist-hadist dan riwayat yang berkaitan dengannya dimanipulasi dan dipalsukan agar keutamaan dan kemuliaannya ditutup-tutupi sehingga tenggelam dan hilang dalam sejarah. Golongan mereka ini sudah ada sejak Nabi masih hidup dan dizaman sekarang masih banyak orang-orang seperti mereka, sehingga Allah SWT mengabadikan mereka dalam Surat Al Kautsar. Mengapa mereka begitu iri, dengki, dan benci ???….wallahu a’lam
Meskipun begitu banyak upaya orang-orang yang membencinya, bahkan ada yang lebih keji, mengejar, menyiksa dan bahkan membunuhnya, tapi tiada yang menandingi Kuasa Allah yang senantiasa menyelamatkan Keturunan Mulia sang kekasihnya Rasulullah saw. Begitupun begitu banyak Hadist-hadist dan riwayah yang menjelaskan kemuliaannya sehingga upaya orang-orang yang berusaha menutupi sejarahnya berakhir dengan sia-sia.
Sejak peristiwa sejarah islam yang kelam, banyak diantara mereka menyebar dengan membawa Tariqah Datuknya & Nasabnya dan hidup zuhud, waktunya lebih banyak dihabiskan dengan ibadah-ibadah sunnat, membasahi bibirnya dengan wird dan hizb dan berusaha semaksimal mungkin mengikuti semua akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Orang-orang yang berada disekelilingnya begitu memuliakannya karena akhlak dan ilmunya, sehingga banyak dari mereka berguru dan menuntut ilmu. Untuk membedakan dengan orang-orang kebanyakan, masyarakat mulai mempredikatkan panggilan khusus dalam memuliakan kaum keturunan nabi tersebut, sebagaimanahadits Rasulullah saw bersabda, yang artinya
"Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga"
(Seraya menunjuk kedua cucu beliau, Sayyidina Hasan dan Husain).
Karena cintanya mereka pada Nabi saw maka menamakan keturunanya sebagai Sayyid (pemimpin) atau Habib (kekasih). Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul saw ini berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya, mereka lebih dikenal dengan sebutan Syarif (dimuliakan), di daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) dengan sebutan Sayyid (Pemimpin), di sekitar malaysia dikenal dengan panggilan Syed sedangkan di nusantara umumnya mereka dikenal dengan sebutan Habib (kekasih). Untuk kalangan perempuan mereka biasa dengan sebutan Sayyidah, Syarifah atau biasa disingkat dengan sebutan “ipa”.
Mengenai panggilan atau gelar-gelar yang disandangnya pun mengalami beberapa kali perubahan dilihat dari urutan waktu sejarahnya.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah:
1. IMAM (dari abad III H sampai abad VII H).
Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
2. SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H).
Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf. SYAIKH berarti Guru. Dengan berkembangnya Ilmu Tasauf dalam kalangan dzurriah, banyak bermunculan dari kalangan mereka yang telah mencapai al-mujtahid al-mutlaq dalam ilmu syariat di usia dini. Setiap dari mereka memiliki karakter khusus sehingga banyak pengikutnya pun menamainya sesuai dengan karakter dan prilakunya, seperti Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Dan Anaknya Umar Al Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya.Waliyullah Abu bakar Al-Sakran, Digelari dengan al-Sakran , karena beliau mabuk dengan cintanya kepada Allah swt. Waliyullah Abu BakarBasyeban (berambut putih, padahal beliau masih muda), waliyullah Abdurrahman bin Aqil bin Salim al-Attas, menurut Habib Ali bin Hasan al-Attas (shohib al-Mashad) dalam kitabnya al-Qirthos Fi Manaqib al-Habib Umar bin Abdurahman al-Attas mengatakan bahwa pemberian gelar al-Attas (bersin) dikarenakan keramatnya, yaitu bersin dalam perut ibunya seraya mengucapkan Alhamdulillah, yang mana perkataan tersebut didengar oleh ibunya. Menurut Habib Ali yang pertama kali bersin dalam perut ibunya yaitu Aqil bin Salim, saudara kandung Syaikh Abu Bakar bin Salim, selanjutnya gelar tersebut dipakai oleh anaknya yang bernama Abdurahman. Begitupun gelar-gelar yang lain yang terus dipakai untuk memudahkan mengenal anak keturunannya (Marga dan Nasabnya) sepertiAl Aydrus, Al Haddad, Al Jufri, Al Baharun, AlJamalullail, Al Bin Syihab, Al Hadi, Al Banahsan, Al Bin Syaikh Abu Bakar, Al Haddar, Al Bin Jindan, Al Musawa, AlMaulachila, Al Mauladdawilah, Al Bin Yahya, Al Hinduan, Al Aidid, Al Habsyi, Al Hamid, dll
3. HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV).
Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan Al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.
Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
4. SAYYID (mulai dari awal abad XIV ).
Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.
Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa “Alawiyin” atau ” qabilah Ba’alawi” dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa “Alawiyin” atau ” qabilah Ba’alawi” dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
Mengenai Julukan kaum Alawy atau Alawiyyin, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawy digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawy) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawy hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwy bin Ubaidillah bin Imam Ahmad bin Isa. Alwi mempunyai anak Ali (Kholi’ Qasam). Ali diberi laqob “Kholi’ Qasam” sebagai nisbah kepada negeri al-Qasam yang merupakan tempat mereka di negeri Bashrah, di mana dari tempat itu ia mendapat harta dan membeli tanah di dekat kota Tarim di Hadramaut dengan harga 20.000 dinar dan ditanaminya pohon kurma untuk mengenang kota Qasam di Bashrah yang tadinya dimiliki oleh kakeknya al-Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan tanah yang luas di sana di dekat teluk Arab dan penuh dengan kurma pada masa itu.
Begitulah sekilas asal muasal pemberian panggilan “habib” atau sejenisnya oleh orang-orang kepada keturunan Nabi, Jadi pada dasarnya panggilan atau gelar tersebut hanya berupa bentuk penghormatan kepada NabiMuhammad saw terhadap keluarga dan keturunannya. Begitupun mengenaiGelar Kefamilian Marga/Fam/Bangsa yg biasa disandang di belakang namanya merupakan identitas khusus yg disesuaikan dengan karakter Datuknya dan dinisbahkan dengan nama datuknya untuk lebih mudah dalam mengetahuisilsilah atau nasab anak keturunannya.
“Adapun jika ada seorang keturunan nabi yg tidak memakai gelar atau marganya dengan alasan tertentu, itu hak personnya masing-masing, tapi jika menyangkut kepentingan kemurnian Nasab dan bersinggungan dengan dzurriah2 yang lain, apakah jika ingin menikah, menikahkan anaknya, maka wajib dia memperjelas Nasab dan Silsilahnya di Lembaga Nasab karena banyaknya kasus penipuan dalam menikahi seorang syarifah.”
Ad Dailami meriwayatkan sebuah hadits dari Ali ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
"4 golongan yang akan aku tolong kelak di hari kiamat adalah orang yang memuliakan keturunanku, orang yang berusaha memenuhi kebutuhan mereka, orang yang berusaha membantu segala urusan mereka ketika terdesak, serta para pecinta mereka dengan hati & lisannya."
1. Meninggalkan nafsu keangkuhan dan bangga diri.
2. Menjadikan sikap taqwa sebagai bekal hidup.
3. Menjadikan Al-Qur’an sebagai imam.
Mengapa Nasab Mesti Di Jaga
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnatnya, Tirmizi dan Al-Hakim, Dari Abu Hurairah r.a katanya, bersabda Rasullah SAW:
’’Pelajarilah olehmu tentang nasab-nasab kamu agar dapat terjalin dengannya tali persaudaraan diantara kamu. Sesungguhnya menjalin tali persaudaraan itu akan membawa kecintaan terhadap keluarga, menambah harta, memanjangkan umur dan menjadikn ALLAH ridho“.
"Dengan itu jelaslah bahwa ilmu nasab adalah suatu ilmu yang agung, berhubungan dengan hukum-hukum syariah Islam. Orang yang mengingkari keutamaan ilmu ini adalah orang yang jahil, pembangkan dan menentang ALLAH dan Rasul-Nya."
Itulah mengapa dari generasi ke generasi, banyak para salaf ba alawi sgt concern terhadap pentingnya pemurnian nasab secara sistematis, mulai Al-Imam Al-Qutb Umar Al-Muhdhar Al-Akbar bin Al-Imam Al-Qutb As-Syech Abdurrahman Asseggaff ,l Imam Al Qutb As Syech Abdullah Al Akbar Al Idrus bin Abubakar Assakran bin Al Imam Al Qutb As Syech Abdurrahman Asseggaff, Al Imam Al Qutb As Syech Ali bin Abubakar Assakran, Al Imam Syech bin Al Imam Al Qutb As Syech Abdullah Al Akbar Al Idrus bin Abubakar Assakran dan seterusnya.
Dengan semakin banyak keturunan nabi yang tersebar dan kewajiban Nasab yang juga perlu dijaga, sebagaimana Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a :
"Mengapa masih ada sebilangan kaum yang menuduh bahwa hubungan kerabatku tidak akan memberi manfaat, ketahuilah bahwa semua kemuliaan dan keturunan akan terputus pada hari kiamat kecuali kemuliaan dan keturunanku dan sesungguhnya tali kekeluargaanku akan tetap bersambung di dunia mahupun di akhirat", hadis ini disahihkan oleh Al-Hafiz As-Sakhawi dan Ibnu Hajar dan disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari tiga jalur.
Dan masih banyak dalil2 yang menguatkan agar Nasab atau Silsilah Keturunan Nabi yang wajib dijaga baik dari sisi keabsahan dan keakuratannya, karena itu dibutuhkan Ilmu yang menangani khusus Nasab dan berhubungan dengan hukum-hukum syariat islam dalam menjaga kesinambungan Nasab dan Silsilah Keturunan Rasulullah sebagai bentuk ikhtiar dan kewajiban kita. Mengenai sejarah Pencatatan nasab secara sistematis dimulai pada zaman Al-Imam Al-Qutb Umar Al-Muhdhar Al-Akbar bin Al-Imam Al-Qutb As-Syech Abdurrahman Asseggaff.
Semestinya setiap keluarga alawiyyin berusaha menanamkan ilmu ini dalam keluarganya, dan memberikan pendidikan dasar nasab sehingga menghasilkan keluarga alawiyyin yang cerdas sehingga para pelaku pemalsu nasab berpikir dua kali untuk bertindak untuk mengacaukan kemurnian nasab Rasulullah dan keturunannya.
Dengan ilmu nasab ini, kita sangat mudah melihat mana yg asli dan palsu, tidak sekedar melihat penampilan fisiknya, bukan karena kayanya, bukan karena keilmuannya,atau bukan karena ketenaran. Tapi ilmu nasab ini bisa diterima dari sisi ilmu pengetahuan dan ilmiah, sehingga bisa diterangkan dan bisa diterima oleh kemampuan akal kita. Berhubung ini perkara nasab suci dan darah keturunan Rasulullah, sehingga ini menjadi perkara yang penting dan berat tanggung jawabnya, sehingga jangan berani mengatakan sayyid atau bukan kalau bukan ahlinya, dan yg memperkeruh suasananya adalah orang2 yg tidak berkompeten berbicara nasab, sehingga yang muncul bukan lagi "ilmu" tapi emosional. Persoalan diterima atau tidak, terpulang pada yg bersangkutan untuk masing2 mempertanggung jawabkan.
Singkat tentang Aqidah &Tariqah Keturunan Nabi
Banyaknya tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tentang aqidah & tariqah para keturunan nabi (ahlulbait), diakibatkan adanya tuduhan bahwa Salaf Alawiyin (keturunan nabi) sebagai penganut Madzhab Syi'ah Imamiyah, apalagi ada sebagian kecil kalangan keturunan nabi yang juga berfaham syiah. Maka dipandang perlu untuk meluruskannya, disini sedikit dikutip dari Habib Abdullah Al-Haddad antara lain sebagai berikut :
"Dan kami telah mengawalinya dengan aqidah yang para salaf (pendahulu pendahulu kita) mengajarkannya kepada keluarga, sanak saudara serta para tetangga, baik yang jauh maupun yang dekat, serta orang-orang awam di negeri mana mereka tinggal. Aqidah itu besar pengaruhnya, agung manfa'atnya, bahkan merupakan pusaka iman yangmengandung arti penyerahan dan ketundukan mutlak (Kepada Tuhan) serta penerimaan penuh atas apa yang telah disampaikan oleh Nabi utusan Allah yang mulia S.A.W. berupa ajaran Islam yang suci”.
Pada kitab itu Habib Al-Haddad menyatakan : "Penutup kitab ini adalah sebuah aqidah yang ringkas dan sangat bermanfa'at, Insya Allah, sesuai jalan yangditempuh oleh Al-Firqah An-Najiah (golongan yang selamat di Akhirat), yaitu golongan Ahlussunah Wal Jama'ah, golonganyang merupakan Assawad Al-A 'dham (mayoritas umat ini)."
Adapun mengenai tariqahnya yang biasa dikenal dengan Tariqah Alawiyah sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba Alawi(penulis buku Ar-Rosyafât) pernah ditanya, “Apa dan bagaimana thoriqoh Bani Alawi (Sâdah Âl Abiy ‘Alawiy) itu? Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah? Apakah di antara mereka terdapat perbedaan pendapat? Apakah thoriqoh mereka bertentangan dengan thoriqoh- thoriqoh yang lain?”
Beliau menjawab,
“Ketahuilah, sesungguhnya thoriqoh Bani Alawi merupakan salah satu thoriqoh kaum sufi yang asasnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah, puncaknya (ro’suhâ/intinya) adalah sidqul iftiqôr (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah (bersaksi bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Thoriqoh ini mengikuti (ittibâ’) manshûsh (semua yang disyariatkan) dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushûl) untuk menyegerakan wushûl.
Jadi thoriqoh Bani Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum zhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang juga mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan, bahwa kedudukan manusia dalam agama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang-orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash: ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas. Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqîm) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Sesungguhnya ilmu tasawuf tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan sebagai kendaraan untuk menghampiri Allah Ta’âlâ. Zhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam ber-tawajjuh kepada Allah Ta’âlâ dengan mengamalkan segala perbuatan yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya.
Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, menyingkirkan sifat-sifat hina dan tercela. Puncak tujuannya adalah untuk meraih kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini mengajarkan seseorang untuk menyandang sifat-sifat mulia dan beramal saleh, serta mewujudkan (tahqîq) asrôr, maqômât dan ahwâl. Thoriqoh ini diwariskan oleh kaum sholihin kepada orang-orang saleh dengan pengamalan, dzauq dan tindak-tanduk, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah sebagaimana syairku dalam Ar-Rasyafât :
Orang yang menguasai semua ilmu syariat
namun tidak merasakan manisnya makrifat
maka dia lalai dan lelap dalam tidurnya
Takutlah kepadanya, seperti takutnya orang yang kebingungan
ketika menghadapi ancaman maut dan segala yang menakutkan
Makrifat diraih berkat curahan karunia Ilahi atau fath
setelah usaha sungguh-sungguh,
bukan dari riwayat yang disampaikan makhluk dan buku,
juga bukan dari tutur kata manusia.
Sungguh beruntung orang yang baik persiapannya
dan hatinya bebas dari perbudakan makhluk-Nya
Petunjuk akan menetap di benaknya
Ia pun merasakan sepercik makrifat di hatinya
Sungguh sepercik (makrifat) dari gelas yang disegel
telah memenuhi hati dengan berbagai ilmu,
melindungi pemahaman dari keraguan
dan membebaskan akal dari segala belenggu
Ketahuilah, thoriqoh Bani Alawi ini: zhohir-nya adalah ilmu-ilmu agama dan amal, sedangkan batinnya adalah men-tahqîq berbagai maqôm dan ahwâl. Adab thoriqoh ini adalah menjaga asrôr, dan timbul ghirah jika asrôr tadi diungkapkan. Jadi, zhohir thoriqoh Bani Alawi adalah ilmu dan amal di atas jalan lurus sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghozali. Dan bathin thoriqohnya adalah tahqîqul haqîqoh dan tajrîdut tauhîd sebagaimana dijelaskan dalam thoriqoh Syadziliyah. Ilmu Bani Alawi adalah ilmunya kaum (sufi) dan rusûm mereka menghapus rusûm. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amal. Mereka juga mengikat perjanjian (‘ahd), mengucapkan talqîn, mengenakan khirqoh, menjalani kholwat, riyâdhoh, mujâhadah, dan mengikat tali persaudaraan. Mujâhadah terbesar mereka adalah penyucian hati, persiapan untuk menghadang karunia-karunia Ilahi dengan menempuh jalan nan lurus, dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’âlâ dengan menjalin persahabatan dengan orang-orang yang memiliki petunjuk (ahlil irsyâd). Dengan tawajuh yang sidq, Allah pasti akan memberikan karunia-Nya. Dan dengan perjuangan yang sungguh-sungguh Allah pasti akan memberikan fath. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan (kepada mereka) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang suka berbuat baik.” (QS Al-Ankabut, 29:69)
Sumber thoriqoh Bani Alawi adalah thoriqoh Madîniyyah, yakni thoriqoh Syeikh Abu Madyan Syu’aib Al-Maghrobi. Sedangkan pusat dan sumber hakikat thoriqoh Bani Alawi adalah Al-Fardu Al-Ghauts Syeikh Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba Alawi Al-Huseini Al-Hadhromi. Thoriqoh ini diturunkan oleh orang-orang saleh yang memiliki maqômât dan ahwâl, dan merupakan thoriqoh tahqîq (pengamalan dan pembuktian), dzauq dan asrôr. Oleh karena itu, mereka memilih bersikap khumûl, menyembunyikan diri, dan tidak meninggalkan tulisan tentang thoriqoh ini. Mereka mengambil sikap demikian sampai zaman Alaydrus (Habib Abdullah Alaydrus bin Abubakar As-Sakran) dan adik beliau Syeikh Ali (bin Abubakar As-Sakran). Setelah banyak yang melakukan perjalanan, maka ruang gerak (Alawiyin) semakin luas. Yang dekat dapat saling berhubungan, tapi tidak demikian halnya dengan yang jauh. Karena itu dibutuhkan usaha untuk menyusun buku dan memberikan penjelasan. Alhamdulillâh, muncullah beberapa karya yang melapangkan dada dan menyenangkan hati, seperti: Al-Kibrîtul Ahmar, Al-Juz-ul lathîf, Al-Ma’ârij, Al-Barqoh, dan karya-karya lain yang cukup banyak dan masyhur.
Fakta Yang Terjadi di Tengah Masyarakat
Belum ada tanggapan untuk "APA ITU HABIB DAN SAYYID???"
Posting Komentar